Organisasi Informal
Terlepas dari kesulitan di atas, tidak berarti penerapan prinsip-prinsip organisasi modern tidak akan pernah bisa diwujudkan. Sebenarnya organisasi matriks, organisasi pebelajar ataupun organisasi modern yang dikemukakakan oleh Osborne & Gaebler (1992) sudah terbentuk. Hanya saja, keberadaannya tidak disadari, dan karenanya manfaatnya tidak bisa dioptimalkan. Keberadaannya tidak disadari karena ia berada pada dimensi informal dan bersifat implisit sehingga luput dari perhatian. Kaca mata konvensional yang dipakai tidak cocok karena secara sempit hanya melihat organisasi secara “topografis” (Araujo, 1998, p. 317), yakni suatu struktur dimana terdapat pembagian dan pengkoordinasian fungsi-fungsi dan tugas dengan jelas secara vertikal maupun horisontal.
Menurut Blau (1963) organisasi informal ini terbentuk sebagai indikasi adanya kebutuhan pegawai yang tidak terpenuhi oleh organisasi formal. Organisasi ini akan aktif dengan sendirinya jika keadan membutuhkannya (Stevenson and Gilly, 1993). Struktur informal tersebut terbentuk dari jalinan berbagai hubungan sosial di kalangan pegawai dan antara pegawai dengan orang-orang di sekitarnya. Jadi organisasi informal dalam konteks ini berbeda dengan asosiasi, paguyuban, serta kelompok-kelompok sosial sejenisnya. Kelompok informal seperti ini termasuk kategori organisasi formal, karena dibentuk dengan sengaja dan ada pimpinan dan susunan organisasinya yang secara sadar dan sengaja ditetapkan. Dengan demikain pula, berbagai bentuk dan penamaan organisasi berbasis jaringan informal dianggap sebagai organisasi informal dalam tulisan ini, misalnya
communities of practice (Wenger and Snyder, 2000), micro communities (Nonaka and Takeuchi, 1995), atau work comunities (Kusterer, 1978).
Definisi ini sekaligus mengungkap bahwa model organisasi informal ini berbentuk jaringan. Jaringan adalah sejumlah titik yang terikat oleh sejumlah hubungan (lihat Knoke and Kuklinski, 1982; Wasserman and Faust, 1994; Jones, Hesterly et al., 1997; Klovdahl, 1997). Dalam suatu organisasi informal, titik-titik diwakili oleh pegawai dan hubungan diwakili oleh berbagai hubungan informal yang mengikat mereka baik secara fisik, emosional, maupun transaksional. Jadi dari segi bentuk, perbedaan organisasi formal dan informal terletak pada bentuk hubungan yang mengikat anggota organisasi dan bukan pada fungsinya. Pada organisasi formal, pegawai diikat oleh hubungan formal seperti siapa yang membawahi siapa. Dalam organisasi informal, anggota organisasi diikat oleh hubungan informal seperti hubungan saling memberi nasehat, bertukar pikiran, saling mendukung dan sebagainya yang terjadi secara alami sehari-hari, dan sering tanpa disadari.
Krackhardt dan Hanson (1993) mengindentifikasi tiga hunbungan informal yang dianggap sangat dominan dan berdampak luas dalam organisasi, yakni hubungan komunikasi (kelompok pegawai yang sehari-harinya memperbincangkan berbagai aspek pekerjaan secara umum), konsultasi (kelompok pegawai yang saling bertukar informasi teknis mengenai solusi permasalahan) dan kepercayaan (kelompok pegawai yang saling mempercayai dan saling mendukung dimasa sulit).
Secara esensi, kajian mengenai struktur organisasi informal sudah dimulai sejak tahun 1920an dan 1930an ketika Elton Mayo, Roethlisberger and Dickson, dari MIT mengadakan penelitian pada pabrik Hawthorne milik Western Electric Company di Chicago (dalam Borgatti, 2000). Elton Mayo dan rekan-rekanya menemukan teori Human Relation setelah membuktikan bahwa peningkatan produktifitas hanya sebahagiannya ditentukan oleh faktor pendapatan, lingkungan dan teknis (Molina, 2001). Penelitian mereka membuktikan bahwa dinamika oposisi dan solidaritas secara informal antar pekerja yang mempengaruhi produktifitas kendati sistim insentif dimanipulasi (dalam Molina, 2001). Selain itu 1963, Blau menemukan bahwa konsultan pada salah satu lembaga penegakan hukum Amerika secara informal mendiskusikan permasalahan pekerjaan yang dihadapi dengan rekanrekannya dan terbukti efektif dalam meningkatan kinerja mereka; kendati peraturan formal
melarang mereka melakukan hal tersebut (Blau, 1963). Secara formal peraturan mengharuskan mereka membicarakan persoalan yang dihadapi dengan atasan masingmasing, bukannya dengan rekan mereka.
Peranan Organisasi Informal
Berbagai penelitian telah membuktikan betapa besar peranan organisasi informal tersebut (lihat Krackhardt and Hanson, 1993; Borgatti, 2000; Molina, 2001). Nonaka (1991), Nonaka & Konno (1998) serta Nonaka & Takeuchi (1995), misalnya, menganggap keberhasilan organisasi-organisasi besar di Jepang mengembangkan inovasi dan kreativitas terletak pada pemberdayaan organisasi informal. Jika mengacu pada definisi yang dipakai di atas, dimana organisasi informal dipandang sebagai jaringan hubungan informal, maka manfaat organisasi informal dapat pula dilihat pada laporan berbagai penelitian mengenai jaringan.
Secara umum, Borgatti (2000) percaya bahwa struktur sosial informal tidak kalah besar perananya dalam mendukung jalannya organisasi. Kapferer (1969), misalnya, menemukan bahwa struktur hubungan dan interaksi antar orang-orang yang berselisih dalam organisasi mempengaruhi mobilisasi dukungan yang pada akhirnya bisa menentukan siapa yang menang dalam perselisihan tersebut. Krackhardt dan Hanson (1993) serta Krackhardt dan Stern (1988) menunjukkan bahwa meskipun ada organisasi formal, kebanyakan pekerjaan sebenarnya terselesaikan dalam organisasi informal. Mereka mengilustrasikan bahwa pemahaman pimpinan mengenai jaringan informal pegawai dalam organisasinya membantu dalam merumuskan solusi terhadap berbagai permasalahan organisasi. Selanjutnya, Burt (1992) menemukan bahwa kecepatan mendapatkan promosi karir berkorelasi dengan apa yang dia sebut “structural holes”, yakni celah-celah dalam struktur jaringan. Sejalan dengan itu, Podolny dan Baron (1997) juga menunjukkan bagaimana jaringan sosial mempengaruhi mobilitas kerja dalam organisasi. Lebih jauh lagi, Sparrowe, Liden, Wayne dan Kraimer (2001) menemukan bahwa posisi sentral dalam jaringan konsultasi berasosiasi dengan kinerja pegawai.
Meskipun peranannya begitu besar sebagaimana disebutkan di atas, organisasi informal masih belum mendapatkan perhatian yang memadai dari praktisi maupun akademisi. Ada
sejumlah faktor yang menyebabkan potensi organisasi informal menjadi terabaikan. Pertama, kesadaran praktisi akan keberadaanya dan tentu saja manfaatnya belum terbentuk. Hal ini disebabkan karena pada satu sisi organisasi informal bersifat implisit dan tersembunyi sehingga bahkan mereka yang terlibat didalamnya sering tidak menyadari. Pada sisi lain, prinsip-prinsip legalitas formal dalam budaya birokrasi telah menggiring kita untuk hanya memperhatikan hal-hal kasat mata dan rasional. Kedua, bagi akademisi, kalaupun mereka menyadari keberadaannya, mereka kesulitan untuk menelitinya karena metode penelitian konvensional yang dipakai selama ini tidak mampu mengkonseptualisasikan fenomena organisasi informal yang sifatnya implisit dan rumit. Ketiga, orang mungkin enggan membicarakanya secara terbuka karena bagi mereka posisi dalam organisasi informal bisa merupakan keunggulan kompetitif yang perlu dipertahankan dan perlu dijaga kerahasiaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar